Buletin

artikel

puisi

humor

 

PEMIMPIN DENGAN WACANA BARUCHadiki Habib

MENUJU UMMAT TERBAIKC Faisal Habib

 

PEMIMPIN DENGAN WACANA BARU

Oleh : Hadiki Habib

 

 PENDAHULUAN

            Kepemimpinan menjadi syarat mutlak dalam membawa suatu pemikiran baru. Harus ada kemampuan menyampaikan konsep dan meyakinkan kelompok agar pemikiran baru tersebut bisa terinternalisasi.

            HMI sebagai organisasi mahasiswa yang berusaha menjalankan konsep   Islam di setiap sendi-sendi kehidupan punya peran yang sangat besar dalam kancah  pembaharuan pemikiran Islam. Elemen mahasiswa yang menyusun HMI menjadi suatu energi potensial pemikiran yang amat besar. Dengan kepemimpinan yang jitu bukan tidak mungkin HMI menjadi pusat penggerak perubahan sosial yang akhirnya akan membawa ke perubahan kebudayaan.

            Potensi dalam tubuh HMI ini dapat dibangkitkan dan diledakkan dalam bentuk wacana-wacana pemikiran yang bertubi-tubi dilancarkan dan diolah baik di dalam tubuh HMI, maupun di masyarakat.

            Peran pemimpin dalam membuka wacana baru adalah sebagai penggagas, motivator dan mengontrol gejolak pemikiran tersebut sehingga bisa terarah dan mampu memberikan dampak signifikan nantinya dalam pola-pola hubungan sosial di masyarakat. 

BUDAYA

            Budaya didefenisikan sebagai adat-istiadat, tata cara, nilai yang hidup dalam suatu kelompok tertentu. Menurut Hofstede (1984) budaya diartikan sebagai program mental yang bersifat kolektif. Schein menyebutkan budaya adalah sesuatu yang eksis dan memiliki arti yang penting.

            Dua sifat penting dari kebudayaan adalah adanya stabilitas struktur dan intergrasi. Artinya ketika seseorang berbicara soal budaya, maka yang dimaksud bukan hanya sekedar sesuatu yang dimiliki oleh bersama, tapi ada makna kedalaman serta kestabilan didalamnya.

            Budaya bisa terbentuk apabila suatu nilai-nilai dalam kelompok tersebut telah diinternalisasi. Tentu saja ini memerlukan proses yang waktu.

            Budaya akan berkembang menjadi suatu peradaban. Manusia bisa berbudaya dan berperadaban akibat kemampuan intelektualnya.

            Ketika kita mencoba melakukan perubahan kebudayaan maka target point kita adalah pola pikir, yang akan mempengaruhi pola sikap dan pola laku. Konsekuansi yang harus dihadapi adalah terjadinya instabilitas dan disintegrasi dalam struktur sosial dan pola-pola hubungan sosial.

            Perubahan kebudayaan sebenarnya merupakan hal yang dapat diukur. Parameter dari telah berlangsungnya perubahan kebudayaan dilihat dari berubahnya alat-alat yang digunakan sehari-hari oleh manusia, berubahnya tata cara tertentu yang berlaku, dan adanya benda-benda baru yang merupakan hasil intelektualitas manusia. 

DI MANA PERAN PEMIMPIN ?

            Kepemimpinan merupakan potensi besar dalam melakukan perubahan pemikiran, karena seorang pemimpin yang baik mempunyai visi dan misi. Kemampuan menjabarkan visi dan misi ini dan menanamkannya dalam pola pikir anggota merupakan modal awal dalam rangka melakukan perubahan yang lebih besar bersama-sama anggota kelompoknya.

            Tom Peters (1992) menyebutkan bahwa pemimpin mempunyai asumsi-asumsi dasar yang bisa diterima kelompok. Asumsi-asumsi dasar dari para pemimpin itu telah terbukti keakuratannya dalam memecahkan masalah dari luar serta intergrasi ke dalam akan diterima. Asumsi ini kemudian dipakai terus menerus, diturunkan dan akhirnya menjadi dasar dalam menjalankan sistem.     

            Menurut Schein (1992) budaya pada dasarnya tumbuh dari tiga sumber utama, keyakinan, nilai dan asumsi dari para pendiri organisasi, atau dalam lingkup masyarakat adalah tokoh masyarakat, kemudian pengalaman (proses belajar) dari para anggota seiring perkembangan organisasi, serta keyakinan, nilai-nilai, asumsi-asumsi baru yang dibawa para anggota berikutnya.

            Peran yang paling penting dalam memulai perubahan  kebudayaan besumber dari pengaruh para pemimpin. Merekalah yang memilih misi utama dan ruang lingkup yang akan dimasuki kelompoknya. Hal ini sejalan dengan beberapa pendorong perubahan sosial, yaitu adanya tokoh-tokoh besar dengan pemikiran baru.

            Pemikiran yang brilian saja tidak cukup, harus ada kesiapan memperjuangkan pemikiran tersebut bersama kelompok yang se visi, sehingga ada kekuatan untuk melakukan perubahan. Di sinilah peranan kepemimpinan. Pemikir yang tidak mempunyai jiwa kepemimpian hanya mampu memberikan wacana bukan perubahan. 

KEPEMIMPINAN DI HMI DAN BUDAYA BARU

            Budaya berpikir radikal, kritis dan gerak yang dinamis merupakan cri khas Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Sejak berdirinya organisasi ini HMI selalu ikut andil dalam pergolakan pemikiran kebangsaan dan keIslaman. Bagaimana organisasi ini bisa menggunakan pemikiran-pemikiran kadernya menjadi suatu kekuatan untuk melakukan perubahan secara bottom up menjadi kelebihan HMI dengan organisasi mahasiswa lain.

            Pola kepemimpinan di HMI yang memulai semua aktivitasnya dengan menanamkan visi dan misi organisasi dengan kaderisasi yang aktif dan berkelanjutan merupakan salah satu jawabannya. Dalam hal ini, internalisasi yang dilakukan bukanlah dogmatisasi, artinya setiap kader mempunyai hak menggugat konsep yang disampaikan pemimpin dan hal ini akan didiskusikan sehingga melahirkan konsep baru.

            Budaya berdiskusi dan menulis membuat HMI pada tahun 70 an menjadi gudang pemikiran baru yang fenomenal, sekaligus berhasil membongkar pemikiran keislaman yang sifatnya kultural menjadi lebih religius.

            Pemimpin di HMI dalam hal ini harus bisa menjadi pioneer pemikiran dan membagkitkan wacana dikalangan anggota secara terus menerus. Apa yang dilakukan Nucrcholis Madjid ketika menjadi pimpinan di HMI patut di analisa. Pemikiran yang disampaikan dan dismpulkan dalam bentuk Nilai Dasar Perjuangan (NDP) mampu menjadi acuan baru bagi seluruh kader HMI, dan menjadi motivator dalam menelurkan berbagai wacana pemikiran baru selama beberapa generasi.

            Kemunduran HMI selama dekade 90 an sampai sekarang disebabkan berkuranganya pemimpin di HMI yang mampu bertindak sebagai motivator pemikiran baru, dan tidak akomodirnya organisasi ini terhadap pemikiran baru karena orientasi dan nuansa keIslaman yang dulu menjadi pijakan telah bergeser ke nuansa kebangsaan yang terlalu kental.

            Mungkin kader-kader di HMI harus mengingat apa anjuran Al Farabi, bahwa pemimpin itu harus seorang filosof, sehingga mempunyai buah pikiran yang akan diolah dalam diskusi-diskusi dan training. Inilah ciri HMI yang mulai pudar. Kepemimpinan yang dijalankan di HMI sering terfokus pada kemampuan manajerial individu untuk mengatur berbagai lembaga dan turunan-turunannya, serta menjaga relasi dengan berbagai institusi eksternal. Harus ada pemimpin yang mampu mengakomodir pemikiran dan bahkan mengajukan konsepnya sendiri untuk kemudian ditawarkan kepada masyarakat. 

PENUTUP

            Kepemimpinan yang dapat berperan dalam melahirkan pemikiran untuk nantinya dapat mempengaruhi kebudayaan adalah kepemimpinan yang visioner dan revolusioner, tidak hanya bergantung dari kemampuan manajerial dan konseptor yang sifatnya praktikal. Pemimpin ini juga harus bisa menjadi motivator dan mengakomodir wacana-wacana yang berkembang dalam institusinya sehingga bisa melahirkan suatu konsep yang lengkap dan siap ditawarkan ke masyarakat. Pemikiran yang tidak diakomodir dan hanya sebatas dilontarkan tanpa tindak lanjut lama-kelamaan akan menyurutkan semangat kader, karena apa yang mereka konsepkan hanya menjadi sekedar wacana.

            Secara ringkas dapat disebutkan pemimpin di HMI bukan hanya harus bisa menjadi seorang pemikir, tetapi harus bisa membentuk pemikir-pemikir lain dan mampu ,mengakomodir pemikiran-pemikiran itu sebagai modal untuk melakukan perubahan dari jalur intelektual.

 

Tentang HMI

Struktur Kepengurusan

Bidang-Bidang

Keanggotaan

Buletin Kita Kegiatan Foto   Kritik dan saran

 

 

Main Menu